JAKARTA – Isu lama soal akuisisi 51 persen saham Bank Central Asia (BCA) oleh Djarum Group pada 2002 kembali mencuat.
Sejumlah pihak menilai proses itu penuh kejanggalan dan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri lebih jauh.
Ekonom Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, menyoroti dua hal utama. Pertama, harga pembelian yang dinilainya tidak wajar.
“Apraisal saat itu Rp10 triliun, tapi saham dilepas hanya Rp5 triliun. Padahal aset BCA mencapai Rp117 triliun. Kalau ada indikasi korupsi, harus diusut tuntas,” ujarnya di Jakarta, Jumat (5/9/2025).
Kedua, BCA disebut-sebut menerima obligasi rekapitalisasi senilai Rp60 triliun, yang justru menguntungkan pemilik barunya.
Menurut Gede, baik Djarum Group selaku pembeli maupun Salim Group sebagai pemilik lama patut dimintai keterangan terkait aliran dana BLBI.
“Beli murah, dapat obligasi rekap besar. Pemilik lama maupun baru sama-sama layak diperiksa,” tegasnya.
Hal serupa juga disampaikan mantan Staf Ahli Pansus BLBI DPD RI, Hardjuno Wiwoho.
Ia menyebut BCA masih menyisakan utang lebih dari Rp26 triliun, sementara kerugian BLBI secara nasional mencapai Rp110 triliun.
“Pemerintah tidak boleh diam. Apalagi harga jual 51 persen saham ke Djarum Group hanya Rp5 triliun, jauh di bawah apraisal," ungkap Hardjuno.
"Kalau dihitung dari nilai aset Rp117 triliun, wajar jika nilainya bisa puluhan triliun lebih tinggi,” imbuhnya.
Namun, BCA membantah tuduhan tersebut. Sekretaris Perusahaan BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, menegaskan penjualan saham dilakukan transparan melalui BPPN.
“Angka Rp117 triliun yang sering dikutip itu total aset, bukan nilai pasar. Harga saham sudah dibentuk mekanisme bursa sejak IPO tahun 2000. Jadi proses akuisisi sesuai aturan,” jelasnya.
Ketut juga meluruskan kabar soal utang Rp60 triliun.
“Faktanya, BCA memegang obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan semuanya telah selesai pada 2009 sesuai ketentuan,” tuturnya.[]